AKTIVIS perdamaian berkebangsaan Amerika Serikat Rachel Corrie, baru berusia 23 tahun ketika sebuah buldoser Israel melindas tubuhnya pada 16 Maret 2003. Tujuh tahun kemudian, sebuah kapal pengangkut bantuan kemanusiaan yang dinamai sesuai namanya, MV Rachel Corrie, siap melanjutkan jejaknya membantu rakyat Palestina.
Tidak perlu menjadi rakyat suatu negara untuk bisa berempati terhadap penderitaan mereka. Hal itu dibuktikan Corrie, seorang aktivis asal Olympia, Washington, AS yang menjadi martir ketika berusaha memblokade jalur dua buldoser dan satu tank Israel, yang akan menghancurkan perumahan lokal Palestina, Samir Nasrallah.
Bungsu dari tiga bersaudara yang menjadi anggota International Solidarity Movement (ISM) tersebut, terbunuh di Jalur Gaza selatan di Kota Rafah, saat sebuah buldoser militer Israel dengan sengaja meluncur tepat ke arahnya dan melindas tubuhnya. Menurut seorang dokter bernama Ali Mussa yang merawatnya, Corrie tewas dengan luka-luka di kepala dan kaki.
''Ia sedang berada di jalan yang akan dilalui buldoser tersebut. Jelas-jelas pengemudi buldoser itu melihatnya dan langsung menabraknya. Dia terlindas di bawah kendaraan itu,'' kisah Joseph Smith, seorang rekan aktivisnya.
Pasukan pertahanan Israel mengklaim insiden tersebut terjadi karena keterbatasan sudut pandang pengemudi buldoser. AKan tetapi, surat kabar 'New York Times' mengatakan, Corrie dan para aktivis lain saat itu sedang bertindak sebagai ''perisai manusia''.
Terlahir sebagai putri pasangan Cindy dan Craig Corrie, aktivis kelahiran 10 April 1979 itu mengambil cuti satu tahun dari pendidikannya di Evergreen State College, dan melakukan perjalanan kemanusiaan ke Jalur Gaza selama Intifada Kedua.
Semangat kemanusiaan rupanya mengalir deras di tubuh Corrie. Di tahun terakhir pendidikannya, gadis yang tumbuh dalam keluarga liberal dan berasal dari level menengah itu, mengajukan proposal program studi independen untuk melakukan perjalanan ke Gaza. Dia bergabung dengan para demonstran ISM dan menggagas proyek ''kota kembar'' antara Olympia dan Rafah.
Rekan-rekannya menggambarkan Corrie sebagai sosok yang menarik dan berterus-terang, namun tidak berusaha menjadi pusat perhatian. Colin Reese, teman sekamar Corrie, mengatakan sahabatnya itu bercita-cita menjadi penulis dan seniman.
''Rachel bukan orang yang terorganisasi dan rapi sedunia. Tetapi, jika sudah bicara soal upaya mencapai perdamaian, dia bekerja lebih keras dan lebih lama dibandingkan siapa pun,'' cetusnya.
Rachel Corrie Foundation for Peace & Justice
Sejak kematian Corrie, berbagai aksi solidaritas telah digelar atas namanya di berbagai penjuru dunia. Nama Corrie pun diabadikan dalam kapal relawan MV Rachel Corrie, yang rencananya bergabung dengan rombongan bantuan kemanusiaan ke Gaza, tanah tempat dirinya menghembuskan nafas terakhir.
Berbagai jurnal dan email yang dikirimkan Corrie selama berada di Palestina juga dipublikasikan dalam berbagai bentuk, mulai dari buku, drama dan sajak, serta tulisan-tulisan di internet.
Dalam sebuah email yang sempat dikirimkan Corrie kepada ibunya beberapa pekan sebelum peristiwa tragis itu terjadi, dia menulis: ''Aku setidaknya harus menyebutkan, bahwa diriku juga menemukan semacam kekuatan dan kemampuan dasar manusia untuk tetap bersikap manusiawi dalam kondisi yang sangat mengerikan ini--yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kupikir martabat adalah kata yang tepat. Kuharap kau bisa bertemu dengan orang-orang ini. Mudah-mudahan, suatu hari nanti, kau bertemu mereka.''
Untuk mengenang dan melanjutkan perjuangan putri mereka dalam mengemban misi kemanusiaan, Craig dan Cindy Corrie membentuk sebuah yayasan bernama Rachel Corrie Foundation for Peace & Justice, yang terinspirasi dari hasrat Corrie mendukung upaya akar rumput untuk meraih perdamaian dan keadilan di seluruh penjuru dunia.
Tidak perlu menjadi rakyat suatu negara untuk bisa berempati terhadap penderitaan mereka. Hal itu dibuktikan Corrie, seorang aktivis asal Olympia, Washington, AS yang menjadi martir ketika berusaha memblokade jalur dua buldoser dan satu tank Israel, yang akan menghancurkan perumahan lokal Palestina, Samir Nasrallah.
Bungsu dari tiga bersaudara yang menjadi anggota International Solidarity Movement (ISM) tersebut, terbunuh di Jalur Gaza selatan di Kota Rafah, saat sebuah buldoser militer Israel dengan sengaja meluncur tepat ke arahnya dan melindas tubuhnya. Menurut seorang dokter bernama Ali Mussa yang merawatnya, Corrie tewas dengan luka-luka di kepala dan kaki.
''Ia sedang berada di jalan yang akan dilalui buldoser tersebut. Jelas-jelas pengemudi buldoser itu melihatnya dan langsung menabraknya. Dia terlindas di bawah kendaraan itu,'' kisah Joseph Smith, seorang rekan aktivisnya.
Pasukan pertahanan Israel mengklaim insiden tersebut terjadi karena keterbatasan sudut pandang pengemudi buldoser. AKan tetapi, surat kabar 'New York Times' mengatakan, Corrie dan para aktivis lain saat itu sedang bertindak sebagai ''perisai manusia''.
Terlahir sebagai putri pasangan Cindy dan Craig Corrie, aktivis kelahiran 10 April 1979 itu mengambil cuti satu tahun dari pendidikannya di Evergreen State College, dan melakukan perjalanan kemanusiaan ke Jalur Gaza selama Intifada Kedua.
Semangat kemanusiaan rupanya mengalir deras di tubuh Corrie. Di tahun terakhir pendidikannya, gadis yang tumbuh dalam keluarga liberal dan berasal dari level menengah itu, mengajukan proposal program studi independen untuk melakukan perjalanan ke Gaza. Dia bergabung dengan para demonstran ISM dan menggagas proyek ''kota kembar'' antara Olympia dan Rafah.
Rekan-rekannya menggambarkan Corrie sebagai sosok yang menarik dan berterus-terang, namun tidak berusaha menjadi pusat perhatian. Colin Reese, teman sekamar Corrie, mengatakan sahabatnya itu bercita-cita menjadi penulis dan seniman.
''Rachel bukan orang yang terorganisasi dan rapi sedunia. Tetapi, jika sudah bicara soal upaya mencapai perdamaian, dia bekerja lebih keras dan lebih lama dibandingkan siapa pun,'' cetusnya.
Rachel Corrie Foundation for Peace & Justice
Sejak kematian Corrie, berbagai aksi solidaritas telah digelar atas namanya di berbagai penjuru dunia. Nama Corrie pun diabadikan dalam kapal relawan MV Rachel Corrie, yang rencananya bergabung dengan rombongan bantuan kemanusiaan ke Gaza, tanah tempat dirinya menghembuskan nafas terakhir.
Berbagai jurnal dan email yang dikirimkan Corrie selama berada di Palestina juga dipublikasikan dalam berbagai bentuk, mulai dari buku, drama dan sajak, serta tulisan-tulisan di internet.
Dalam sebuah email yang sempat dikirimkan Corrie kepada ibunya beberapa pekan sebelum peristiwa tragis itu terjadi, dia menulis: ''Aku setidaknya harus menyebutkan, bahwa diriku juga menemukan semacam kekuatan dan kemampuan dasar manusia untuk tetap bersikap manusiawi dalam kondisi yang sangat mengerikan ini--yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kupikir martabat adalah kata yang tepat. Kuharap kau bisa bertemu dengan orang-orang ini. Mudah-mudahan, suatu hari nanti, kau bertemu mereka.''
Untuk mengenang dan melanjutkan perjuangan putri mereka dalam mengemban misi kemanusiaan, Craig dan Cindy Corrie membentuk sebuah yayasan bernama Rachel Corrie Foundation for Peace & Justice, yang terinspirasi dari hasrat Corrie mendukung upaya akar rumput untuk meraih perdamaian dan keadilan di seluruh penjuru dunia.
No comments:
Post a Comment